BAGIAN SATU
AKADEMI adalah tempat mencetak manusia agar menjadi orang pandai lengkap pada saat ini. Ada yang langsung berhasil mengakhiri pendidikan itu dengan gelar kesarjanaan yang dibubuhkan di belakang namanya. Tetapi ada pula yang tak berhasil mengakhiri pendidikan itu, dan terkapar mencari jalan sendiri untuk suatu penemuan yang tidak ada diktat pelajarannya. Yang akan kuceritakan ini tentang seorang kawanku yang gagal meneruskan pendidikan atau kuliahnya dalam jurusan antropologi, sebuah jurusan yang jarang diperlukan di dunia pekerjaan seperti akuntan atau ahli pembukuan.
———-
YASWO jadi frustrasi kini. Sungguh pun ia tak mengaku demikian, tetapi demikianlah yang nampak dari seluruh kehadirannya pada situasi hidup yang baru. Karena ia bukannya berusaha mencari pekerjaan di kota yang sesuai dengan jurusan keakademiannya yang gagal di tengah, tetapi ia malah mengucilkan diri ke tepi kampung Watu Gudik, tak jauh dari Prambanan.
Terkadang aku merasa kasihan dengan jurusan akademi yang dipilihynya dahulu. Dan entah berapa kali kuulang-ulang ucapan yang hampir serupa artinya kepadanya. ‘’Yaswo, jurusan kuliah yang kau pilih dahulu, seperti seseorang yang bertugas memotong-motong tulang lembu jagal !’’
Ia terdiam, dan menggesekkan ujung telunjuk ke samping kembang hidungnya yang tergantung. Sebenarnya ia harus pulang saja ke Bantul, tempat asalnya. Atau ke kota memutar haluan lain mencari hidup, yang tidak memerlukan bidang antropologi yang dipelajarinya selama ini.
Tetapi kini ia memilih tinggal dengan seorang nenek tua, yang tidak jauh dari Bokoharjo menuju jalan Jolosutro yang pernah kulalui jika aku hendak melintasi dataran tinggi Gunung Kidul.
Nenek tua itu kebetulan saja berjumpa olehnya di pasar Prambanan, yang tiba-tiba meneteskan air mata begitu melihat Yaswo. Alasannya, cucu si nenek dahulu mirip benar dengan Yaswo. Tetapi telah empat tahun meninggal karena kecelakaan lalu lintas antara Yogya – Prambanan.
‘’Sejak itu aku lebih nyaman tinggal di sini,’’jawab Yaswo.
‘’Kau mengucil dari bidang studimu?’’ Tuduhku.
‘’Siapa bilang. Aku juga dapat meneruskan studiku di luar,’’ jawab Yaswo. ‘’Tak selalu di luar itu berarti gagal, kalau aku menemukan sesuatu yang pantas untuk dicanangkan kepada para ilmuwan di dunia ini.’’
Aku mengatakan kepada Yaswo, bahwa jurusan kuliah yang dipilihnya sempit sekali kegunaannya di tengah masyarakat. Jika di tingkat kecamatan, mungkin diperlukan seorang pengetik yang untuk itu cukup dengan berijazah SMP dan yang lainnya saja. Antropologi hampir dibutuhkan cuma oleh kantor seksi kebudayaan atau bahagian purbakala jika Yaswo mau makan gaji, atau berjumpa dengan seorang donor yang sudi membiayai penyelidikannya.Tetapi, yang terakhir ini sulit sekali dijumpai di tanah air ini. Orang yang mau meyerahkan biaya untuk suatu penelitian yang belum tentu mendatangkan hasil.
Kerja cepat yang pasti menghasilkan adalah membungakan uang, sungguh pun untuk itu diperlukan cara-cara yang licik dan kejam untuk mengutip hasil tambahannya.
Yaswo bagai membuang-buang waktunya di meja kuliahnya selama empat tahun lebih. Jadi carik lurah sekalipun, pekerjaan itu tak cocok dengan keahliannya. ‘’Ah… di sinikan ada bekas-bekas peninggalan purbakala…. Wesi. Akan ada saja jalurnya jika aku menemukan sesuatu yang pantas diperhatikan oleh para sarjana yang sedang melanjutkan riset resminya di perguruan tinggi.’’
‘’Mungkin berbeda Yas,’’ucapku.
‘’Di perguruan mengikuti suatu arah kelanjutan perkembangan percobaan yang mungkin menghasilkan suatu metode yang sama. Tetapi kau, dalam membuat riset yang akan kau jajaki, pasti ingin menciptakan jalan sendiri. Karena kau hendak mempersingkat jalan potong kompas, untuk menemukan suatu hal baru yang mengejutkan para ilmuwan.’’
Walau pun ia tak menjawab, tapi sasaranku mengena. Kemudian baru direalisirnya. ‘’Itukan lumrah. Yang di luar perguruan harus menciptakan sesuatu yang lebih kreatif kalau ia ingin maju, sama dengan kawan-kawannya yang terpimpin dalam suatu kelompok.’’
Dua minggu kemudian aku kembali ke gubuk Yaswo di belakang rumah nek Marfuh. Suatu kemajuan terjadi kulihat. Di sudut kamarnya yang kecil itu bersandaran sekop, tembilang lipat, tali temali seperti keperluan pendaki gunung, ransel, dan tabung-tabung gelas yang besar, dan resep-resep kimia yang tak kuketahui kegunaannya. Yang membuat aku terkejut lagi, sebuah tiang dari kayu meranti sedang bergantungan tulang-belulang manusia, baru sampai pada seperdua tulang pinggang dan rusuk. Bahagian tulang yang lain masih menumpuk dan belum dibersihkan di bawah yang sedang dirangkai itu.
Bergeletakan pula bor-bor kecil dan pisau-pisau pengikis kotoran. Tetapi, kepala rangka tidak kelihatan. Mungkin disembunyikan Yaswo, atau memang tidak ditemukan.
Lalu Yaswo masuk. Ia sedikit tertegun melihat aku sedang memperhatikan hasil pekerjaan seperti ibu-ibu arisan merangkai bunga.
‘’Apakah ada gunanya menurut pak Wesi?’’ Ujar Yaswo.
‘’Ada, setidaknya untuk dihitung potongan tulang itu di bawah fokus mikroskopmu,’’ tukasku.
‘’Di mana kau peroleh rangka ini?’’ Susulku.
‘’Di daerah Kali Wedi,’’ jawab Yaswo.
‘’Kali Wedi?’’ Ulangku lagi, sambil membayangkan kejadian-kejadian sekitar 15 tahun lalu. Sungai itu pernah menerima mayat-mayat yang dibenamkan dan dibawa oleh pasir berjalan sampai ke muaranya.
‘’Kepalanya kemana?’’ Tanyaku lagi kepada Yaswo.
‘’Belum kutemukan.’’
‘’Akan kupergunakan seorang tua pandai untuk menentukan kepala mana yang pasangannya sebenarnya!’’
‘’Eh…kau telah mulai berperhatian dengan komunikasi alam gaib?’’ Potongku.
Yaswo tidak membantah. Tetapi akhirnya malah menyahut. ‘’Terkadang sebagai pelengkap hal demikian diperlukan juga dalam penelitian.’’
Yaswo juga menyinggung-nyinggung bahwa peristiwa kriminal terkadang juga awalnya penyelidikan dipergunakan prasaran-prasaran gaib, dari ucapan seorang tua, sebagai titik awal bertolak.
Itu kuakui juga. Tetapi tidaklah dapat dijadikan sebagai pokok notulen pemeriksaan dalam sebuah perkara kejahatan, seperti …’’Menurut pemeriksaan kepada dukun anu, yang meramalkan kejadian-kejadian itu kembali kepada asal mulanya terjadi pembunuhan……’’
Beberapa kali aku ke rumah Yaswo,ia tidak di rumah. Kata Nek Marfuh ia sedang berjalan ke sepanjang Kali Wedi. Kurasa mungkin ia sedang mencari pasangan kepala dari rangka yang telah sempurna disusunnya.
Sebagai hasil jerih payahnya menyusun rangka yang belum mempunyai tengkorak itu, ditutupnya dengan kain sprei kasurnya sendiri jika meninggalkan rumah. Pemandangan yang kurang enak buatku, memandang di gubuk Yaswo ada tulang belulang manusia yang belum lengkap. Apa salahnya Yaswo mencari yang lengkap? Tapi mungkin pula kurang bahagian tulang yang lain. Akhirnya kuterima dengan akal sehat usahanya mencari tulang tengkorak yang telah disusunnya itu.
Pada suatu hari kulihat Yaswo sedang mempersiapkan suatu hal yang aneh. Ia menutup rangka itu dengan baju yang telah lama tidak dipakainya. Kemudian mengikatkan ujung balpoint pada salah satu telunjuk rangka.
‘’Ech….kau seperti mau mengadakan kegiatan jailangkung, apa Yas?’’ Potongku cepat, melihat apa yang dilakukan Yaswo melebihi pemanggilan roh dengan keranjang kosong yang ditutup baju. Tetapi kini ia benar-benar menggunakan kerangka manusia.
‘’Aku mau ia sendiri menunjukkan di mana kepalanya tercecer, masih di hulu atau memang telah jauh ke hilir muara.’’
Aku jadi seram dengan percobaan yang dilakukan Yaswo. Ia memulai memanggil-manggil sesuatu dengan pantun. Kemudian menggoyang-goyang paku yang tergantung di bahagian tengah tulang dada rangka itu. Buat sementara, bagian kepala digantinya dengan kelapa yang bekas digerek tupai. Lobang kelapa itu saja yang ditancapkannya pada susunan tulang leher. Aneh dan lucu bentuknya, jika ada makhluk berkepala kelapa demikian jalan di tempat umum.
‘’Kepala eneng….tanda….nyo
Bekas linggis…pada pelipis kiri….
Ngidul…pohon randu…’’
Nampaknya Yaswo membuat rangka itu menggoretkan beberapa kalimat yang buruk tulisannya. Aku baru kali ini melihat jailangkung hebat, yang melebihi jailangkung yang terbuat dari keranjang arang kosong. Mestinya memang demikian, seorang akademisi harus lebih besar dan maju segala riset ilmiahnya dibandingkan dengan sarjana klasik.
Yang anehnya, kami bersama pernah memanggil bekas guru kami di sekolah dasar dahulu. ‘’Waduh…waduh…”’hampir saja kami sama tertawa ketika rangka itu menunduk-nundukkan kepalanya yang dari tempurung kelapa itu.
‘’Memang persis kok,..’’ ujar Yaswo. ‘’Kan pak guru kita itu dulu mempunyai ciri khas khusus? Jalannya menunduk-nundukkan kepala seperti tentara Jepang, hormat terus kepada matahari terbit.’’
‘’Ya ! Tetapi mungkin juga ia datang sungguh-sungguh.’’
Karena kami tak sampai hati menanyakan guru kami yang menggaib itu kini, rangka itu pun menulis,’’Uwes…Kulo mulih!’’
Rangka itu bergetar, kemudian menjadi ringan seluruhnya seperti ada beban berat yang keluar dari rangka tersebut.
Kuakui atau tidak, Yaswo sudah maju sedikit dari jailangkung yang biasa dibuat orang orang iseng yang lain. Sesuai dengan keakademian cara berpikir Yaswo sendiri yang sekiranya mempergunakan cara klasik, tetapi harus lebih bergengsi nampaknya percobaan itu.
Ia bukan menemukan robot-robot yang dihidupkan dengan berpegas seperti mainan anak-anak, Yaswo telah maju setingkat. Ia telah menemukan robot dengan rangka asli manusia. Yang menyulitkan aku, ketika Yaswo minta bantuanku untuk mendagang rangka itu sepanjang Kali Wedi menuju ke muara. Kukatakan kepadanya, pekerjaan ini akan mencengangkan orang-orang kampung yang tinggal di tepi sungai. Pertengkaran pun terjadi di antara kami. Disamping ia ingin risetnya kutunjang dengan pertolongan, dengan gengsi sebagai orang sehat mendukung kerangka itu sepanjang hiliran sungai.
‘’Akan ada reaksi dari dalam gundukan pasir,’’ kata Yaswo. ‘’Rangka kepala itu akan timbul sendiri dari gundukan pasir.’’
Alangkah mengerikan, kerangka yang kami dagang dengan pikulan akan memanggil kepalanya sendiri yang jauh terpisah dari badannya. Keputusan kami ambil, mengerjakan percobaan gila itu di waktu malam agar terhindar dari purbasangka jelek orang yang melihatnya. Bisa saja orang mengatakan kami mengadakan percobaan dedemit. Seperti dukun zombie yang menggemparkan dunia pengetahuan itu. Dengan obor yang terkadang kami matikan, kami susur muara Kali Wedi. (Besambung/ras)